Selasa, 02 November 2010

Kitab Sutasoma

Sutasoma merupakan salah satu kakawin Jawa kuno yang dikarang oleh mpu Tantular, seorang pujangga yang hidup pada jaman Raja Agung Hayam Wuruk dari Majapahit (1350-1389 AD).  Sutasoma berisi bentrokan antara agama Hindu dan Budha serta mengenalkan  pada kita semboyan Bhineka Tunggal Ika yang dikemudian hari menjadi semboyan negara kita

Ringkasan Cerita Sutasoma
            Pada masa pemerintahan Prabu Mahaketu, raja Hastina keturunan bangsa kuru, terjadi kekacauan yang ditimbulkan oleh para raksasa yang merampok dusun dan pertapaan.  Dengan berbekal ramalan dari seorang brahmin, prabu Mahaketu bersemadi di hadapan arca Jina.  Sesuai ramalan yang mengatakan bahwa putra sang prabu lah yang akan menghentikan kekacauan, maka lahirlah seorang bayi laki-laki yang merupakan titisan dari sang Budha bernama, Sutasoma.
            Beberapa tahun kemudian, Sutasoma beranjak dewasa, sang prabu berniat untuk segera menikahkannya dengan seorang putri.  Di luar dugaan Sutasoma menolak menikah apalagi dinobatkan sebagai raja.  Malam harinya, Sutasoma melarikan diri dari istana, saat itu secara ajaib seluruh gerbang terbuka dengan sendirinya.
            Di dalam perjalanannya, Sutasoma sampai ke sebuah candi di dalam hutan.  Dia berhenti dan bersemadi.  Kemudian Sutasoma meneruskan perjalanan ke gunung Himalaya (Semeru, pada Kalangwan) diantar oleh beberapa pendeta.  Sutasoma akhirnya tiba di sebuah pertapaan dan bertemu Ki Kesawa, dengan didampingi Ki Kesawa dia melanjutkan perjalanan dan bertemu dengan pertapa Budha bernama Sumitra.  Sumitra merupakan paman ibu Sutasoma.  Dari Sumitra, Sutasoma mengetahui siapa raksasa yang sering mengganggu dan memakan manusia.  Raksasa itu bernama Purusada, dia memiliki luka di kakinya yang tak kunjung sembuh.  Para pendeta meminta Sutasoma untuk membantu memenuhi takdirnya menjadi raja dan menghabisisi Purusada, tetapi Sutasoma menolak dengan halus dan memilih melanjutkan perjalanan.
            Pada perjalanan selanjutnya Sutasoma bertemu raksasa berkepala gajah (Gajamukha) dan seekor naga, dengan kesaktiannya kedua raksasa itu dapat dikalahkannya.  Ketika sampai di suatu tebing, Sutasoma bertemu seekor harimau betina yang hendak memakan anaknya sendiri.  Sutasoma mencegah harimau itu dan mengatakan bahwa hal itu tidak pantas dilakukan, Sutasoma kemudian menawarkan dirinya menjadi penggati anak harimau.  Harimau itu kemudian menyerang dan mencabik-cabik tubuh Sutasoma, kemudian meminum darahnya.  Namun setelah mayat Sutasoma tergeletak di tanah, harimau itu merasa menyesal dan berniat bunuh diri..  datanglah Batara Indra menghidupkan Sutasoma kembali.  Setelah kejadian itu, Sutasoma kembali bertapa, kali ini dia bertapa di sebuah gua di puncak gunung.
            Para dewa mencoba keteguhan hati Sutasoma, dengan mengirimkan beberapa dewi untuk menggodanya, namun Sutasoma tidah goyah, ketika Indra mencoba menggodanya Sutasoma berubah menjadi Budha Wairocana.  Setelah menyadari bahwa dirinya telah menjadi budha tertinggi, maka Sutasoma berniat kembali ke Hastina.  Di tengah perjalanan, Sutasoma bertemu dengan prabu Dasabahu yang tengah terlibat perkelahian dengan pengikut Purusada.  Ternyata Dasabahu masih saudara sepupu Sutasoma, dengan gembira dia mengajak Sutasoma ke negrinya dan menikahkan Sutasoma dengan adik perempuannya, Candrawati.  Setelah perhelatan selesai Sutasoma meneruskan perjalanan kembali ke Hastina dan dinobatkan menjadi raja, bergelar prabu Sutasoma.
            Di lain tempat, Purusada yang baru saja sembuh dari lukanya, tengah berusaha memenuhi kaulnya terhadap dewa Kala yaitu membunuh 100 raja.  Setelah menangkap korban ke sembilan puluh sembilan, dia mengarahkan sasaran ke kerajaan Singhala.  Raja Jayawikrama dari keraaan Singhala tidak menyerah dan melakukan perlawanan yang mengakibatkan kematian dirinya.  Setelah kematian prabu Jayawikrama, Purusada mengalihkan perhatian pada raja Widharba.  Dengan menyamar sebagai seorang pengemis yang meminta-minta, Purusada berhasil menangkap raja Widarbha.
            Purusada memerintahkan tentaranya untuk menyerang kerajaan Hastina.  Pada peperangan itu prabu Dasabahu, akhirnya tewas di tangan Purusada yang dirasuki oleh Siwa.  Mendengar kabar kematian Dasabahu, Sutasoma membawa keretanya diiringi oleh Sucitra dan para rohaniawan.  Siwa yang tengah mengamuk menjelma sebagai api Kala dan berusaha menghancurkan seisi dunia.  Para dewa mencoba membujuk dan menasehati Siwa untuk melepaskan niatnya menghancurkan dunia, karena meski dilakukan pun Sutasoma tidak akan terluka, karena Sutasoma merupakan reinkarnasi dari Budha.  Pada hakekatnya Budha dan Siwa adalah tunggal, Indra meminta Sutasoma untuk merubah dirinya.  Dalam posisi bodhyagri, Sutasoma mengeluarkan senjata yang menenangkan hati Siwa, sehingga Siwa keluar dari tubuh Purusada.
            Purusada berusaha memanggil Siwa kembali tetapi sia-sia.  Sutasoma bersedia mengorbankan dirinya, asalkan Purusada membebaskan seluruh raja yang masih ditawan olehnya.  Batara Kala merasa senang dan mengubah dirinya menjadi naga dan mulai menelan Sutasoma, akan tetapi perlahan dia merasa tidak tega dan mengeluarkan Sutasoma kembali.  Purusada juga merasakan hal yang sama, akhirnya bersama Sutasoma, Kala dan Purusada yang telah bertobat, melakukan kehidupan sebagai seorang Bhiksu.  Purusada akhirnya menetap di gunung Mandara bersama pengikutnya untuk melakukan tapa. 

Pengarang, waktu penulisan, dan Hal yang Terkait dengan Sutasoma
            Sutasoma, seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya, lahir dari tangan seorang pujangga bernama mpu Tantular.  Selain Sutasoma, mpu Tantular juga menghasilkan karya lain yaitu Arjunawijaya, suatu kakawin yang bercerita mengenai asal mula lahirnya prabu Dasamukha yang kemudian dikenal sebagai Raghawa (Rahwana), raja Ayodhya pada kakawin Ramayana, dan kemenangan Arjuna Sasarabahu, raja Mahispati atas Dasamukha.   Kedua syair ini digubah pada masa raja Rajasanagara atau Hayam Wuruk memerintah Majapahit.  Hal ini diketahui dari penyebutan nama raja, pada bagian akhir Sutasoma yaitu bagian penyair memuji raja karena menyebabkan semua penjahat melarikan diri.  Dalam prolog Arjunawijaya, raja yang sama disebutkan sebagai raja Jawa (sang Yawendra).  Dengan demikian, kedua kakawin tersebut berasal dari tahun sesudah 1365, ketika Negarakertagama diselesaikan, dan sebelum 1389, ketika sang raja mangkat.
            Pada bagian epilog, penyairnya yaitu mpu Tantular dalam Arjunawijaya mengarahkan suatu sindiran yang artinya berhubungan dengan kesukaran dan kritik yang dialami saat ia membuat puisi.  Kedua kakawin dibuat oleh satu orang yang sama, dapat diketahui dari persamaan kosa kata dan gayanya, sedangkan perbedaannya terdapat pada susunan dan penjabaran alur.  Sifat kakawin Arjunawijaya yang lebih sederhana dari Sutasoma, membuktikan bahwa kakawin Arjunawijaya lebih dahulu dibuat.  Latar belakang keagamaan terdapat kemiripan, tetapi ada juga perbedaan.  Kemiripannya antara lain:
  • Sama-sama berbentuk kakawin;
  • Menyinggung masalah Budha dan Hindu (Siwa);
  • Berlatar belakang kerajaan dan pertapaan;
  • Ada tokoh raja, raksasa dan dewa;
  • Ada penitisan yaitu Budha ke Sutasoma; Siwa ke Purusada; Rama ke Arjuna Sasrabahu;
  • Cerita berasal dari epos Mahabharata;
  • Akhir cerita nyaris sama yaitu terjadi pengampunan oleh tokoh utama terhadap tokoh antagonis, Sutasoma mengampuni Purusada dan Arjuna mengampuni Dasamukha.
            Dalam sastra kakawin yang berasal dari jaman Kediri, pengaruh Budhisme hampir tidak ada, baik dalam pemilihan tema, cara pembahasan, manggala maupun deskripsinya.  Dalam Arjunawijaya, Budha disebutkan pada bagian perjalanan Arjuna Sasrabahu beserta permaisurinya, dimana mereka menjumpai candi Budha.  Sedangkan pada Sutasoma, jelas sekali terlihat yaitu penyebutan Sutasoma sebagai titsan Budha. 
            Cerita Sutasoma terdapat dalam kitab Ramayana dan Mahabharata, serta beberapa kepustakaan Budha (Poerbatjaraka, 1957:45).  Cerita itu juga terdapat dalam berbagai jataka seperti dalam sastra Budhis, baik yang ditulis dalam bahasa Sansekerta ataupun bahasa Pali.  Terdapat beberapa versi mengenai Sutasoma, pada kebanyakana versi dari jataka, intinya adalah (1) Pangeran Sutasoma bertemu Brahmana yang menceritakan secara singkat dan padat syair dari kitab suci; (2) Dia dibawa lari oleh si pemakan manusia, yang telah bersumpah untuk mengorbankan beberapa pangeran; (3) Dia akan dibebaskan dengan syarat membawa brahmana sebagai pengganti; (4)Dia kembali ke pemakan manusia; (5) Perubahan (bertobatnya) pemakan manusia dan kebebasan para pangeran yang sebelumnya ditangkap.  Pada versi yang dikarang mpu Tantular, pada dasarnya berbeda secara mendasar.  Perbedaan yang paling menonjol adalah (1) Budha turun ke bumi dan menitis pada Sutasoma, serupa dengan Rudra (bentuk lain Siwa)yang telah menguasai Purusada (pemakan manusia; nama Kalmasapada tidak berlaku).  Ajaran Budha dan Siwa menjadi unsur dasar dalam teks; (2) Karakter seorang brahmana yang datang dan bercerita lewat syair yang singkat dan padat tidak ada, oleh karena itu Sutasoma ditangkap oleh pemakan manusia tidak bebas bersyarat melainkan kewajibannya pada sang brhmana; (3) Ketika plot demikian berganti menjadi bentuk yang baru, sejauh pengetahuan kita subjek masalah untuk kavya lengkap didalamnya (Ensink, 1967:10&11).   
            Sutasoma dapat dikatakan sebagai kakawin yang menggabungkan unsur Budha dan Hindu menjadi satu (kemanunggalan) serupa dengan situasi dan kondisi saat itu, yaitu agama pada masa kerajaan Majapahit (Budhisme Mahayana dan Siwaisme).  Ada kemungkinan Raja Sutasoma merupakan raja Kertanegara yang beragama Budha Tantra, raja ini dinobatkan sebagai Jina (Dhyani Budha) hal ini disebutkan dalam Negarakertagama (Siwabudhaloka).  Kemanunggalan antara agama Hindu dan Budha dapat dilihat dari inti cerita kisah ini, yaitu Sutasoma (mewakili ajaran Budha) berseteru dengan raksasa Purusada (mewakili Siwa (Hindu)), Purusada sebagai penganut Siwaisme tidak menyukai Sutasoma yang merupakan titisan Budha, pada akhirnya Purusada (siwa) ‘ditundukkan’ oleh kewelas asihan Sutasoma (Budha) Siwa merupakan Budha dan begitupun sebaliknya mereka adalah satu dan sama.  Menurut saya pribadi, cerita ini dimaksudkan untuk menyatukan penganut Budha dan Hindu (Siwaisme) pada masa kerajaan Majapahit, supaya tetap bersatu tanpa ada perselisihan karena kedua ajaran itu pada intinya bermuara pada satu tujuan yang sama yaitu mencapai kemanunggalan (menjadi Budha atau Siwa).  Sampai saat ini kakawin Sutasoma sangat digemari di pulau Bali, atau sekurang-kurangnya dalam kalangan tertentu yang menempatkannya di atas kakawin lain.  Bahkan di suatu forum diskusi, Sutasoma masih menjadi topik yang menarik untuk dibahas, terutama oleh penganut Budha.  Nama mpu Tantular saat ini lebih dikenal sebagai nama museum di Surabaya.

sumber:

Ensink, J
1967                              On The Old-Javanese Cantakaparwa And Its Tale of Sutasoma; S. Gravennage, Martinus Nijhoff.
Poerbatjaraka R.M.Ng, dan Hadidjaja, Tardjan
1957                              Kepustakaan Djawa; Djakarta, Djambatan.
Zoetmulder, P.J.
1983                              Kalangwan:Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang; Jakarta, Djambatan.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar