Jumat, 07 Desember 2012

TANTRI KAMANDAKA Tantri Kamandaka merupakan salah satu naskah Jawa berbentuk prosa yang menggunakan bahasa Jawa Tengahan. Naskah ini merupakan satu dari sekian banyak naskah berbahasa Jawa tengahan seperti Tantu Pagelaran dan Sri Tanjung. Sesuai bahasanya, Tantri Kamandaka ditulis pada masa Jawa Pertengahan yaitu masa peralihan antara Jawa Kuno dengan Jawa Baru. Isi cerita Tantri Kamandaka sarat dengan ajaran moral yang baik untuk anak-anak, adapun ringkasan ceritanya akan dijelaskan di bawah ini. Ringkasan Cerita Tantri Kamandaka Pada jaman dahulu di negri Jambudipa, ada seorang raja bernama Maharaja Eswaryapala. Sang raja memerintahkan patihnya yaitu, Nitibadeswarya untuk menyediakan seorang gadis untuk diperistri setiap hari, berarti setiap malam selalu diadakan pernikahan. Hal itu berlangsung terus hingga akhirnya tinggal putri sang patih yang tersisa. Dewi Tantri, putri sang patih bersedia dipersembahkan sebagai istri sang raja. Dewi Tantri juga berjanji pada ayahnya akan mengubah perilaku sang raja. Pada malam pernikahannya, Tantri memohon izin pada sang raja untuk bercerita supaya tidak mengantuk, sang raja setuju. Setelah cerita selesai, sang raja yang tertarik dengan cerita Tantri, meminta Tantri melanjutkan cerita itu besok, begitulah, setiap malam Tantri bercerita dan ceritanya selalu berlanjut, hingga akhirnya sang raja sadar akan nilai yang diajarkan pada cerita tersebut. Sejak itu sang raja berjanji tidak akan menikah lagi, dia mengangkat Tantri sebagai permaisurinya. Cerita Tantri dimulai pada cerita brahmana miskin bernama Darmaswani, sang brahmana yang memohon pada Siwa untuk diberikan berkah, mendapatkan seekor kerbau jantan bernama Nandaka. Berkat Nandaka kehidupan sang brahmana menjadi semakin makmur dan kaya. Suatu hari Nandaka yang sakit ditinggalkan di tengah hutan oleh 2 pelayan Darmaswani, maka dimulailah cerita mengenai para binatang di hutan. Seekor Singa penguasa hutan mengikat persahabatan dengan Nandaka, demi persahabatan sang singa bahkan rela tidak memakan daging dan mulai makan tumbuh-tumbuhan. Patih raja bernama Sambada, seekor serigala, merasa posisinya terancam dengan persahabatan majikannya dengan seekor kerbau. Dengan liciknya dia mengadu domba Nandaka dengan Singa hingga mereka saling membunuh, Sambada pun tewas karena kerakusannya sendiri. Cara Sambada mengadu domba antara Singa dengan Nandaka adalah lewat cerita yang masing-masing dipaparkan secara terpisah, salah satu cerita yang hingga saat ini masih dikenal adalah cerita prabu Aridarma. Alkisah prabu Aridarma sedang berburu di hutan, saat itu dia melihat putri naga dan seekor ular kebanyakan sedang saling melilit. Sang prabu menegur kedua ular dan mengatakan bahwa perbuatan mereka sangatlah tidak pantas, maka dibunuhnya ular kebanyakan dan dipukulnya putri naga, Nagini. Setibanya di rumah, Nagini mengadu pada ayahnya, Naga raja. Nagini mengatakan bahwa prabu Aridarma hendak berbuat tidak senonoh padanya, dan karena dia menolak prabu Aridarma memukulnya. Naga raja yang tidak terima putrinya diperlakukan demikian, segera pergi ke istana prabu Aridarma. Dengan berwujud seekor ular, Naga raja menyelinap ke bawah tempat tidur sang prabu. Saat itu prabu Aridarma tengah berbincang dengan istrinya dewi Mayawati, diceritakanlah kejadian yang dialaminya saat di hutan. Naga raja yang mendengar kelakuan putrinya merasa malu, kemudian berganti rupa menjadi brahmana menemui prabu Aridarma. Naga raja berterima kasih pada prabu Aridarma, kemudian mengabulkan keinginan sang prabu yang ingin dapat memahami bahasa binatang, dengan syarat sang prabu tidak boleh memberitahukan pada siapapun mengenai kemampuannya memahami bahasa binatang, jika tidak sang prabu akan mati. Suatu hari saat sedang bersama istrinya, prabu Aridarma mendengar seekor cecak betina memuji dirinya, sehingga dia tertawa, istrinya merasa heran dan ingin tahu mengenai apa yang ditertawakan oleh sang prabu. Sesuai janjinya sang prabu menolak, tetapi istrinya bersikeras dan mengancam akan bunuh diri. Esoknya sang prabu menyiapkan sedekah dan api pembakaran, karena ingin memberitahukan pada istrnya kenapa dia tertawa. Saat berdiri diatas panggung, dia mendengar perbincangan seekor kambing jantan dan betina bernama Banggali dan Wiwita. Kambing betina, Wiwita menginginkan suaminya, Banggali untuk mengambil janur kuning yang tergantung diatas api karena sedang mengidam, tetapi ditolak oleh Banggali karena banyak penjaga yang membawa tombak. Wiwita tetap bersikeras dan mengancam akan bunuh diri, tetapi Banggali tetap pada pendiriannya dan menyindir prabu Aridarma yang hendak mati hanya karena ingin memenuhi permintaan istrinya yang tidak mungkin dilakukan. Prabu Aridarma yang mendengar ucapan Banggali berpikir kalau apa yang dikatakan oleh Banggali benar, sebagai seorang raja dia tidak boleh kalah oleh istrinya karena dengan begitu tidak ada yang mau menghormatinya maka, sang prabu memutuskan untuk mengurungkan niatnya untuk mati tunu dan turun dari panggung. Sang dewi Mayawati (istri prabu Aridarma) menerjunkan dirinya ke dalam api, begitu pula Wiwita. Keterangan Mengenai Tantri Kamndaka Pada dasarnya Tantri Kamandaka berarti Kamandakisi cerita binatang. Cerita yang ditampilkan cukup ringan dan mudah dimengerti serta sarat akan ajaran moral. Bahasa yang digunakan pada Tantri Kamandaka adalah bahasa Jawa Kuno dengan sedikit peralihan ke bahasa Jawa Baru. Menurut Dr.C. Hooykaas dalam Bibliotheca Javanica 2, 1931, di Indonesia terdapat 12 macam naskah Tantri yaitu, 3 dalam bahasa Jawa Kuno 2 dalam bahasa Jawa Baru 2 dalam bahasa Madura 5 dalam bahasa Bali sembilan naskah terakhir termasuk naskah muda dan dalam keadan yang sangat buruk. Yang tiga termasuk berbahasa Jawa Kuno yaitu, Tantri Kamandaka yaitu berbentuk prosa Tantri b Kadiri yaitu berbentuk kidung Kadiri Tantri a Demung yaitu bentuk puisi Jawa Tengahan Menurut Poerbatjaraka, Kitab Tantri mengisahkan dongeng hewan seperti cerita Kancil. Adapun induk dari kitab itu adalah kitab Pancatantra berbahasa Sansekerta asal dari tanah Indu. Kitab Tantri berbeda dengan Pancatantra pada bagian awalnya saja. Kitab Pancatantra dimulai dengan cerita mengenai seseorang yang mempunyai beberapa putra yang bodoh-bodoh. Seorang pendeta didatangkan untuk mengajar mereka dengan jalan menceritakan dongeng-dongeng hewan. Sedangkan Tantri sesuai ringkasan cerita mengenai seorang raja yang gemar menikah setiap hari dan akhirnya disadarkan dengan dongeng yang diceritakan istrinya, Tantri. Persamaannya terdapat pada sebagian besar cerita binatang yang merupakan versi Pancatantra, India. Pada kitab Tantri terselip perkatan-perkataan Sansekerta. Beberapa diantaranya masih dapat dibetulkan, tetapi beberapa buah yang lain tidak lagi. Karena itu, maka kitab itu dapat dianggap kitab Jawa Kuno berbentuk prosa. Tetapi menurut bentuknya dapat dimasukkan sebagai kitab bahasa Jawa Tengahan. Kitab Tantri Kamandaka telah diterbitkan menjadi buku Bibliotheca Javanica jilid II, dengan terjemahan dalam bahasa Belanda oleh Dr. C Hooykaas. Pada katalog naskah FSUI naskah Tantri Kamandaka dengan judul Kidung Tantri ditulis diatas lontar dengan aksara Bali berbahasa Jawa kuno berbentuk Kidung. Naskah tersebut isi ceritanya serupa dengan naskah Tantri Kamandaka bentuk prosa yang telah diceritakan diatas, perbedaannya hanya pada bentuk sastra dan nama tokoh. Menurut keterangan, naskah ini selesai disalin pada hari rabu kliwon dungulan bulan Kasa (pertama) dan merupakan milik I Gusti Putu Jlantik sebagai bupati Singaraja, diperoleh di Puri Singaraja pada hari Kamis Pon Kurantil tahun 1828 Saka oleh Anak Agung Ngurah (tabanan). Tidak jelas siapa penyalinnya, namun tampaknya oleh I Gusti Putu Jlantik atau Anak Agung Ngurah (tabanan) pada tahun 1828 Saka (1906) di Singaraja, Bali, ditunjang dengan catatan tambahan dengan tulisan Bali dan Latin yaitu Kidung Tantri 1-90, I.G. Jlantik (t.t) punggawa Kulini, 1906. (h.1a). Sedangkan pada Literature of Java, puisi Tantri dibuat pada periode Jawa-Bali pada masa raja Gelgel dan Klungkung. Menurut buku itu pula, buku Tantri berdasarkan kitab Pancatantra India, pada masa pra Islam pada sejarah budaya Jawa beberapa fabel terdapat dalam naskah pada relif batu yang tergambar di tembok kuil Jawa Timur. Cerita Tantri Kamandaka disadur menjadi salah satu cerita dari sekian banyak cerita pada buku yang berjudul Percikan Kebijakan yang ditulis oleh A Sandiwanbrata P.R, tahun 1987 diterbitkan oleh Kanisius. Selain itu ada buku berjudul Tantri Kamandaka: Een Ooudjavaansche Pancatantra, Disertai Teks dan Terjemahannya, yang berisi teks dan terjemahan naskah Tantri Kamandaka. Menurut saya cerita Tantri Kamandaka ini cocok untuk diceritakan pada anak-anak, disertai penjelasan ajaran yang dapat dipetik dari cerita itu. Meski ada dugaan bahwa cerita ini merupakan saduran dari cerita 1001 malam, tetapi pada dasarnya cerita ini benar-benar berbeda, pada awal cerita memang sama yaitu raja yang gemar menikah setiap hari kemudian menikah dengan gadis yang pintar mendongeng dan pada akhirnya sifat buruk raja seiring berakhirnya cerita dan sang raja pun meninggalkan sifat buruknya dan menjadikan sang gadis permaisuri, pada cerita 1001 malam, sang raja memang gemar menikah tetapi pada pagi harinya istri barunya akan dibunuh, berbeda dengan versi Jawa dimana tidak ada cerita mengenai pembunuhan para gadis. Pada cerita 1001 malam putri yang dinikahi raja meminta izin pada sang raja untuk mendongengkan adiknya untuk terakhir kalinya, sang raja yang menunggui mereka menjadi tertarik dan ikut mendengarkan cerita yang bersambung terus menerus setiap malam hingga sang raja lupa pada hukuman yang ia tetapkan. Sedangkan pada cerita Tantri Kamandaka, Tantri bercerita untuk sang raja dan Tantri tidak memiliki adik. Cerita yang diceritakan pun berbeda, pada kisah 1001 malam cerita bernuansa padang pasir dengan tokoh manusia, sedangkan pada cerita Tantri kisah yang diceritakan merupakan cerita dengan tokoh binatang dan adakalanya manusia seperti cerita Brahmana dan Pembuat emas dengan kisah Prabu Aridarma. Susunan cerita pada Tantri Kamandaka cukup teratur meski saling tumpang tindih, artinya didalam cerita yang sedang diceritakan ada cerita lain misalnya pada saat Sambada bercerita pada Nandaka, Nandaka membalas dengan cerita mengenai binatang lain seperti Ketam, kemudian di dalam cerita Nandaka, Si Ketam diceritakan juga bercerita pada tokoh lain. Salah satu cerita Tantri, yaitu kisah Prabu Aridarma telah diadaptasi menjadi awal dari cerita karangan yaitu kidung Angling Dharma yang sampai saat ini masih dikenal secara luas. Meski sedikit rumit, akan tetapi cerita Tantri Kamandaka memang sarat akan nilai moral yang patut direnungkan dan menjadi contoh dalam kehidupan sehari-hari, sayangnya cerita ini tidak begitu populer pada masa sekarang, mungkin karena bentuk sastranya berupa prosa sehingga tidak banyak yang tertarik untuk menggali cerita ini lebih dalam. Daftar Pustaka Behrend, TE 1998 Katalog Naskah Nusantara Jilid 3 A-B: Perpustakaan Fakultas Satra Universitas Indonesia; Jakarta, Yayasan Obor L Mardiwarsito 1983 Tantri Kamandaka: Naskah dan Terjemahan dengan Glosarium, Nusa Indah; Flores Poerbatjaraka, Prof. Dr. R.M dan Hadidjaja, Tardjan 1957 Kepustakaan Djawa, Jakarta; Djambatan Pigeaud, TH 1967 Literature of Java, Catalogue Raisonne of Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and Other Public Collections in the Netherland, Vol 1, The Hague: Martinus Nyhoff.

Minggu, 21 November 2010

Kaidah Dasar Kehidupan Masyarakat Jawa (Etika Jawa)

Bab ini membahas mengenai dua kaidah dasar kehidupan ‘masyarakat Jawa’ yaitu etika atau norma dasar yang berlaku di dalam kehidupan bermasyarakat khususnya pada masyarakat Jawa. Menurut Hildred Geertz terdapat dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Kaidah pertama adalah bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik. Kaidah kedua, menuntut agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Pada buku ini kaidah pertama disebut sebagai prinsip kerukunan, sedangkan kaidah kedua merupakan prinsip hormat.
1. Prinsip kerukunan
a. Rukun
Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Keadaan tersebut disebut rukun. Rukun adalah keadaan ideal yang diharapkan dapat dipertahankan dalam semua hubungan sosial dalam keluarga, dalam rukun tetangga, di desa, dalam setiap pengelompokkan. Berlaku rukun berarti menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi sehingga hubungan-hubungan sosial tetap kelihatan selaras dan baik-baik.
Terdapat dua segi dalam tuntutan kerukunan. Pertama, dalam pandangan Jawa masalahnya bukan penciptaan keadaan keselarasan sosial, melainkan lebih untuk tidak mengganggu keselarasan yang diandaikan sudah ada. Kedua, prinsip kerukunan pertama-tama tidak menyangkut suatu sikap batin atau keadaan jiwa, melainkan penjagaan keselarasan dalam pergaulan. Maksudnya adalah masyarakat Jawa tidak berusaha untuk menciptakan sebuah keselarasan sosial melainkan berusaha untuk tidak merusak keselarasan yang telah tercipta dengan sendirinya. Mereka tidak melibatkan perasaan untuk menciptakan keselarasan, tetapi menjaga supaya keselarasan sosial tetap terjaga dan tidak rusak.
b. Berlaku Rukun
Suatu konflik dapat terjadi apabila terjadi benturan antara kepentingan yang satu dengan yang lain. Kerukunan menuntut agar individu dapat menomorduakan, bahkan jika perlu melepaskan kepentingan pribadi demi kesepakatan bersama. Apabila terdapat kepentingan yang saling bertentangan, maka diperlunak dengan teknik-teknik kompromi tradisional dan diintegrasikan ke dalam tatanan kelompok yang ada sehingga tidak sampai timbul konflik. Ambis-ambisi pribadi jangan sampai diperlihatkan.
Untuk mengantisipasi emosi yang mungkin hadir pada pertentangan yang terjadi, masyarakat Jawa cenderung mengembangkan norma-norma kelakuan. Norma-norma tersebut berlaku dalam lingkungan masyarakat kecuali keluarga inti. Pada keluarga, kekuatan simpati spontan (tresna, cinta, kasih) biasanya mencegah terjadinya emosi-emosi agresif atau setidaknya membatasi. Norma tersebut dapat dirangkum dalam tuntutan untuk mawas diri dan menguasai emosi. Maksudnya adalah ‘orang Jawa’ (priyayi) telah terlatih untuk tidak menunjukkan emosinya saat menghadapi pertentangan atau konflik, mereka cenderung memendam emosi dalam hati, cara ini bisa disebut dengan istilah seni kontrol diri.
Saat konflik terjadi ‘orang Jawa’ akan berusaha untuk bersikap tenang tanpa mengatakan apapun juga, yang kira-kira dapat menimbulkan konflik semakin melebar, merka cenderung tidak ingin menyakiti hati lawan bicara. Saat harus mengambil sikap, orang Jawa cenderung akan mengatakan atau mengeluarkan pendapatnya dengan suara yang rendah dan tenang, sehingga siapapun yang mendengar akan sulit berkata ‘ya’, atau ‘tidak’. kata yang diucapkan untuk memulai suatu pendapat biasanya diawali dengan kalimat ‘Saya rasa’ atau ‘barangkali’.
Orang Jawa beranggapan bahwa membuka perasaan hati begitu saja dianggap negatif atau tidak baik, mereka lebih suka untuk tidak mengatakan apa-apa daripada menimbulkan suasana yang tak tenang. Untuk tawaran dan permintaan sebaiknya tidak dilakukan secara langsung, melainkan perlu dijajaki dahulu, bagaimana keinginan seperti itu akan dapat diterima. Maksudnya, saat seseorang akan mengajukan tawaran untuk melakukan sesuatu, ada baiknya orang itu menyelidiki atau menjajaki terlebih dahulu tawaran yang akan dia ajukan, apakah telah sesuai dengan keadaan ataukah ada kemungkinan akan ditolak. Misalnya jika seseorang akan melamar (menawarkan) anaknya untuk dijadikan menantu, orang itu akan menjajaki terlebih dahulu orang yang akan dilamar, caranya adalah membuka pembicaraan dengan topik yang tidak penting (berbasa-basi). Dari pembicaran tersebut, biasanya dapat diketahui kemungkinan adanya penerimaan atau penolakan dari pihak yang dilamar.
Sebaliknya, untuk menolak sesuatu yang ditawarkan, orang Jawa cenderung menjelek-jelekkan atau merendahkan dirinya sendiri. Misalnya saja, untuk menolak lamaran dari seseorang. Pihak keluarga biasanya akan mengatakan bahwa anaknya tidak pantas untuk bersanding karena masih kecil atau belum dewasa, bisa juga dengan mengatakan bahwa anaknya tidak cukup baik untuk dijadikan istri karena memiliki banyak kekurangan dan tidak memenuhi syarat. Kekasaran bukanlah watak yang terpuji, dan ketika orang tiba pada maksud yang sesungguhnya , dalam suatu percakapan harus sudah menyadari apa yang hendak dikatakan oleh seseorang, itulah sebabnya perlu dilakukan penjajakan dengan pembicaraan yang tidak langsung ke pokok masalah sebenarnya.
Tehnik lain untuk menghindari kekecewaan adalah kebiasaan untuk berpura-pura atau ethok-ethok. Ethok-ethok merupakan seni yang tinggi dan dinilai positif. Ethok-ethok berarti bahwa diluar lingkungan keluarga inti orang tidak akan memperlihatkan persaan-perasaannya yang sebenarnya. Terutama perasaan negatif. Meski seseorang sedang sedih atau marah dia akan tetap tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa. Usaha ini dimaksudkan supaya keakraban dapat terus berlangsung dalam hubungan antar orang. Kebiasaan ini juga memberi manfaat supaya kedua belah pihak dapat mengembangkan pembicaraan ke segala arah dan menghindari kemungkinan negatif yang terjadi apabila fakta (kebenaran) yang sesungguhnya diketahui oleh kedua belah pihak.
Tata krama Jawa merupakan salah satu sara ampuh untuk menghindarkan terjadinya konflik. Tata krama mengatur semua bentuk interaksi langsung diluar lingkungan keluarga inti dan lingkungan teman-teman akrab. Pendidikan di dalam keluargalah yang membentuk penguasaan tata krama di lingkungan sosial. Anak-anak Jawa mendapat pendidikan tersebut dari orang tuanya, menurut Hildred Geerz di bagi atas dua tahap. Pertama, berlangsung kurang lebih sampai anak berusia 5 tahun dan ditandai oleh kesatuan yang akrab dengan keluarga tanpa adanya ketegangan-ketegangan apa-apa. Penertiban dicapai melalui dua cara, pertama sikap-sikap yang terpenting dilatihkan pada anak melalui ulangan halus terus menerus. Kedua anak dituntut taat tidak melalui ancaman hukuman atau teguran dari ibu.
Tahap kedua dimulai sesudah anak melewati umur 5 tahun. Seorang ayah yang sebelumnya seperti sahabat, menjauhkan dirinya menjadi asing supaya timbul perasaan takut dan hormat sehingga si anak akan menuruti keinginan atau perintah ayahnya. Apabila orang Jawa telah dewasa, maka ia telah membatinkan bahwa kesejahteraannya, bahkan eksistensinya, tergantung dari kesatuannya dengan kelompoknya. Prinsip kerukunan mendapat penerapan dalam segala bidang kehidupan sehingga perselisihan antara anggota keluarga inti memperebutkan warisan sangat jarang terjadi.
Orang Jawa berusaha memperlakukan orang lain seperti keluarga, misalnya tetangga. Orang asing yang ditemui disapa dengan sebutan seperti keluarga sendiri misalnya mbak, mas, pak dan bu. Hal tersebut dilakukan karena orang Jawa memiliki keyakinan bahwa sebaiknya orang mencegah atau mengecilkan kecondongan-kecondongan yang memisahkan atau yang menimbulkan pertentangan-pertentangan individu-individu. Maksudnya sedapat mungkin mereka berusaha untuk menciptakan suasana kerukunan dalam hal ini kekeluargaan pada orang asing supaya tidak merasa asing.
Praktek gotong royong seperti rembug desa, juga berfungsi mewujudkan kerukunan. Dalam musyawarah seseorang dapat mengeluarkan pendapatnya sendiri-sendiri, hasil musyawarah berdasarkan hasil rembugan yang disepakati bersama, bukan melalui penghitungan suara. Dengan cara tersebut kerukunan dapat terjalin dengan erat.
c. Rukun dan Sikap Hati
Inti prinsip kerukunan adalah tuntutan untuk mencegah segala kelakuan yang dapat menimbulkan konflik terbuka. Motivasi untuk bertindak rukun bersifat ganda yaitu di satu pihak individu berada di bawah tekanan berat darui pihak lingkungan yang mengharapkan daripadanya sikap rukun dan memberi sanksi terhadap kelakuan yang tidak sesuai. Di lain pihak individu membatinkan tuntutan kerukunan sehingga ia meras bersalah dan malu apabila kelakuannya mempengaruhi kerukunan. Maksudnya adalah perasaan atau dorongan hati untuk menghindari terjadinya konflik ada pada diri setiap individu, perasaan damai dan tentram akan terasa jika individu dapat menghindarkan terjadinya konflik.
Dalam etika dibedakan antara prinsip moral dan prinsip penata masyarakat. Yang pertama menuntut sikap-sikap batin yang memang harus terwujud dalam tindakan lahiriah. Yang kedua memuat norma-norma kelakuan yang dituntut dan seperlunya dipaksakan oleh masyarakat entah apa sikap batin seseorang. Demi kerukunan dapat di tuntut represi terhadap pengejaran kepentingan egois, tetapi tidak di tuntut represi perasaan batin. Batin manusia tetap dibiarkan bebas. Maksudnya individu boleh memperjuangkan keinginannya tanpa harus melibatkan perasaan (batin). Akan tetapi dalam ajaran moral Jawa ditegaskan bahwa orang Jawa sedapat mungkin tidak boleh menunjukka ambisi pribadinya secara terang-terangan. Karena itu pengejaran kepentingan harus dilakukan perlahan-lahan dan tidak perlu diperlihatkan secara jelas.
Orang Jawa sepenuhnya menyadari kepentingan individualnya, nampak dalam hal gotong royong. Orang Jawa biasa menabung kebaikan pada orang lain supaya suatu hari saat dia sendiri membutuhkan bantuan tabungan itu dapat diambil. Misalnya saat ada tetangga yang membutuhkan bantuan untuk membangun rumah, dia akan membantu pembangunan rumah tersebut dengan harapan ‘hutang’ bantuan tersebut dapat ditagih saat dia membutuhkan misalnya saat dia mau memperbaiki rumah atau panen dan sebagainya.

2. Prinsip Hormat
Kaidah kedua yang memainkan peranan dalam mengatur pola interaksi dalam masyarakat Jawa adalah prinsip hormat. Prinsip ini mengatakan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Dalam prinsip hormat semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hirarkis. Mereka yang berkedudukan lebih tinggi harus di beri hormat. Sedangkan sikap yang tepat terhadap mereka yang berkedudukan lebih rendah adalah sikap kebapakan atau keibuan dan rasa tanggung jawab. Dalam bahasa Jawa tidak ada kemungkina untuk menyapa dan bercakap-cakap dengan seseorang tanpa memperlihatkan bagaimana kita menaksirkan kedudukan sosial kita dibandingkan dengan dia. Bahasa krama dan ngoko memperjelas status atau kedudukan seseorang dengan orang lain. Orang Jawa juga terbiasa menggunakan istilah keluarga dalam menyapa orang lain (seperti pak, bu, mas, dan mbak). Hal itu menunjukkan rasa hormat seseorang pada orang lain.
Penggunaan istilah keluarga untuk menyapa anggota keluarga baik keluarga dekat maupun jauh (misan) masih dapat bergeser sesuai kedudukan orang tersebut. Misalnya saya memiliki kakak seayah yang telah memiliki beberapa anak, anak kakak saya wajib memanggil saya dengan sebutan bulik, meskipun usia anak itu lebih tua dari saya. Hal tersebut berlaku karena menurut susunan kedudukan dalam keluarga, saya lebih senior, meski dari segi usia saya kalah. Untuk berbicara dengan saya, keponakan saya akan menggunakan ragam krama untuk menunjukkan kedudukan saya yang lebih senior tetapi tidak menutup memungkinkan berbicara dalam bahasa ngoko karena masih termasuk sebaya.
Penggunaan istilah dan ragam bahasa, diajarkan sejak kecil melalui pendidikan keluarga. Menurut Hildred Geertz, pendidikan tersebut tercapai melalui tiga perasaan yaitu, wedi, isin, dan sungkan. Wedi atau takut merupakan reaksi terhadap ancaman fisik maupun sebagai rasa takut akibat kurang enak suatu tindakan. Seorang anak akan wedi (takut) terhadap orang yang dihormati, dan mereka juga akan dipuji saat wedi terhadap orang yang lebih tua atau orang asing. Rasa takut menimbulkan respect atau rasa hormat pada orang yang lebih tua.
Isin dan sikap hormat merupakan satu kesatuan. Orang Jawa akan merasa isin apabila tidak menunjukkan rasa hormatnya pada orang yang lebih tua atau yang pantas untuk dihormati. Rasa isin membantu seseorang untuk merasa bebas saat harus berhadapan dengan orang lain, karena telah terbiasa. Misalnya saat harus berhadapan dengan orang lain, kita telah terbiasa bersikap sopan dan menghormati tanpa ada rasa takut, sehingg orang yang berhadapan dengan kita akan merasa dihargai dan secara otomatis ikut menghormati kita.
Sungkan merupakan salah satu perasaan yang hampir sama seperti isin. Bedanya sungkan adalah malu dalam arti yang positif menurut Hildred Geertz sungkan adalah rasa hormat yang sopan terhadap atasan atau sesama yang belum dikenal, sebagai pengekangan halus terhadap kepribadian sendiri demi hormat terhadap pribadi lain.
Prnsip itu tidak mengenai sikap batin melainkan kelakuan dalam masyarakat. Bukan ketidaktaatan, melainkan mengenai kelakuan yang kurang hormat itulah yang bertentangan dengan prinsip itu. Jadi prinsip hormat bukanlah sikap yang memberi perintah dan dipatuhi, tetapi lebih kepada mendengarkan dengan hormat untuk kemudian dilaksanakan.
3. Etika Keselarasan Sosial
Masyarakat Jawa telah mengatur interaksinya dengan dua prinsip. Konflik-konflik harus dicegah dan setiap situasi pangkat dan kedudukan semua pihak yang bersangkutan harus diakui melalui sikap-sikap hormat yang tepat. Prinsip kerukunan mengatur semua bentuk pengambilan keputusan antara pihak yang sama kedudukannya. Prinsip hormat menetukan hubungan hirarkis dan dengan demikian menetapkan kerangka bagi segala macam interaksi.
Dalam pandangan Jawa prinsip-prinsip keselarasan memang harus didahulukan terhadap hukum positif. Menurut hukum positif, mempertahankan hak-haknya berhadapan dengan prinsip-prinsip keselarasan tidak disetujui. Akan tetapi saat ini hukum tersebut sulit dipertahankan karena perkembangan zaman merubah pemikiran tersebut. Saat ini, mempertahankan hak adalah suatu hak dan kewajiban individu. Prinsip kerukunan dan hormat menuntut kita untuk menguasai perasaan dan menahan napsu agar bersedia menomorduakan kepentingan pribadi terhadap pertahanan keselarasan masyarakat. Seseorang tidak boleh bertindak hanya berdasarkan penilaiannya sendiri terhadap suatu situasi tetapi dengan pertimbangan moral.
Secara moral kita tidak berhak untuk bertindak menurut satu norma moral saja. Misalnya saat ini kita dapat membantu orang lain, namun bantuan tersebut dapat menimbulkan merugikan konflik bagi orang lain yang juga bersangkutan dengan masalah tersebut.
Masyarakat melarang sikap-sikap yang bertentangan dengan rukun dan hormat dan tidak membiarkan suatu pelanggaran terhadap standar-standar itu berlangsung. Sikap itu normal dan tidak menimbulkan masalah interpretasi.
Tuntutan untuk mencegah konflik dan untuk menunjukkan hormat akan menggerogoti tanggung jawab moral individu serta keberlakuan norma-norma moral lain apabila dimutlakkan. Prinsip kerukunan memuat perintah mutlak untuk mencegah interaksi konflik.
Dua prinsip keselarasan bukanlah prinsip moral, melainkan prinsip penata masyarakat. Segi moral dua prinsip itu ialah bahwa masyarakat Jawa tidak menyetujui secara moral kalau seseorang, berdasarkan pertimbangannya sendiri tidak bertindak menurut dua prinsip itu. Kadang-kadang antara tuntutan untuk bersikap selaras dan tanggung jawab moral dapat terjadi konflik dan lantas akan teruji apakah keselarasan dianggap sedemikian mutlak hingga mebatasi otonomi moral manusia atau ternyata disadari bahwa betapapun pentingnya tuntutan untuk bersikap rukun dan hormat, namun tanggung jawab moral masih tetap dianggap lebih penting.

Sebuah ulasan "Ekologi Kebudayaan Jawa dan Kitab Kedhung Kebo"

Pengantar
Babad berarti membabat untuk mendirikan sesuatu. Babad merupakan salah satu karya sastra Jawa yang bebentuk puisi tembang, dengan kisah yang berlatar belakang sejarah. Pada buku yang berjudul Ekologi Kebudayaan Jawa&Kitab Kedhung Kebo pengarangnya yaitu Peter Carey melakukan penelitian mengenai babad. Carey tidak hanya meneliti satu versi babad tetapi tiga versi dari satu cerita babad yaitu babad yang bercerita mengenai Dipanegara. Dipanegara merupakan salah satu tokoh sejarah yang terkenal dengan perang Jawanya. Dalam buku ini Carey, menganalisa babad dengan pendekatan secara antropologi, yaitu meneliti kebudayaan masyarakat yang terkandung di dalam babad.
Babad Dipanegara dibagi atas tiga kelompok utama yaitu pertama, babad yang ditulis oleh Dipanegara sendiri beserta kerabatnya, selanjutnya disebut sebagai babad otobiografi Dipanegara. Kedua, babad yang ditulis atas perintah Bupati Purwareja, Raden Adipati Cakranegara I, dikenal sebagai buku kedhung kebo. Ketiga, babad yang ditulis di istana di Jawa Tengah, di Yogyakarta dan Surakarta.

Keunikan Cerita Babad Otobiografi Dipanegara
Dari ketiga kelompok babad Dipanegara, yang akan dibahas adalah babad otobiografi Dipanegara yaitu, babad yang ditulis oleh Dipanegara sendiri. Babad tersebut memiliki keunikan pada ceritanya. Keunikan yang dimaksud sebagian besar dari mitos yang ditampilkan untuk melegitimasikan kepemimpinan Dipanegara atas perang Jawa dan membenarkan tindakan yang dilakukan sebelum dan sesudah perang Jawa. Babad dipanegara ditulis di Manado selama tiga bulan (13 November 1831-3 Februari 1832). Babad ini menggambarkan sejarah Jawa sebelum kelahiran Dipanegara dan kehidupan serta zaman yang dilalui Dipanegara sampai masa pengasingannya di Manado.
Salah satu keunikan babad ini adalah Dipanegara menyamakan dirinya dengan salah satu tokoh wayang dari kubu Pandawa yaitu Arjuna. Konon, Ratu Kidul memberikan sebuah anak panah Sarotama pada Dipanegara. Pada cerita wayang, sarotama adalah salah satu senjata milik Arjuna. Cerita ini mirip dengan cerita Arjuna yang memperoleh panah pasopati dari tangan Siwa. Hal ini unik karena pada babad yang lain, yaitu versi Cakranegara, dikisahkan bagaimana Cakranegara menyamakan dirinya dengan Bima. Salah satu cerita yang memberi pengaruh atau inspirasi bagi Dipanegara, kemungkinan adalah Arjuna Wiwaha. Lakon tersebut dikenal juga sebagai lakon Mintaraga. Di dalam cerita dikisahkan persiapan Arjuna melalui cara pertapaan demi mendapatkan kekuatan yang tidak terkalahkan itu agar ia dapat memerintah dunia sekaligus berjaya atas semua kekuatan jahat. Pada babd Dipanegara ditemukan rujukan pada periode awal sebelum terjadinya perang, adanya upaya mensucikan diri dengan melakukan pertapaan. Konon, Dipanegara sering pergi ke hutan sendirian, untuk bertapa.
Selain itu, hal lain yang cukup unik pada babad ini adalah keberadan Ratu Adil pada sosok Dipanegara. Selama ini, sepanjang abad sering sekali ada yang menganggap dirinya sebagai Ratu Adil, tokoh pada mistik Jawa. Dipanegara konon pernah bertemu dengan Ratu Adil yang kemudian memberi surat perintah untuk berperang. Sejak itu orang menganggap bahwa Dipanegara adalah sang Ratu Adil atau juru selamat. Dipanegara juga menganggap dirinya sebagai seorang pemimpin agama Islam lewat pembenaran bahwa saat bertemu Ratu Adil, dia ditugaskan memimpin pasukan dengan Al Quran sebagai landasan kekuasaan.
Keunikan lainnya adalah bagaimana Dipanegara mengasosiasikan dirinya sebagai perantara terjadinya penghancuran yang dimaksudkan (pada ramalan Jayabaya terdapat bab dimana orang Jawa diceritakan habis karena peperangan). Lucunya, Dipanegara berusaha melakukan pembenaran akan pemberontakan yang dilakukannya di dalam pandangan dan pengertian kebudayaan dan kosmis Jawa yang tradisional. Dipanegara menyadari bahwa dia bukan pemimpin yang mampu mengusir orang-orang Belanda dari Jawa, tetapi bahwa dia yang akan menjadi penyebab timbulnya suatu masa penghancuran yang mensucikan, yang berlangsung untuk jangka waktu yang singkat saja, yang merupakan pendahuluan zaman pemerintahan yang benar dan adil. Dengan kata lain Dipanegara berusaha melakukan pembenaran diri akan tindakannya, dia berpikir bahwa kejadian tersebut (pemberontakan dan kekalahan) merupakan takdir yang telah digariskan.

Pendekatan Peter Carey Pada Babad Dipanegara
Seperti telah dijelaskan pada pengantar bahwa Peter Carey melakukan penelitian dengan pendekatan antropologi. Bagi Carey pendekatan sejarah tidak cocok untuk meneliti babad tersebut tetapi ciri-ciri kebudayaan masyarakatlah yang menjadi pusat perhatiannya dalam meneliti babad. Menurut Carey pada semua babad Dipanegara, cerita wayang dipergunakan untuk melukiskan pribadi-pribadi yang berperan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi selama berlangsungnya perang Jawa dan penggunaan gambaran demikian telah melebihi sekadar hanya kebiasaan dan sopan santun kesusastraan belaka. Selain itu bagian-bagian tulisan yang terdapat di dalam babad itu membicarakan maslah dunia spiritual Jawa mempunyai arti yang penting bagi pemahaman historis mengenai konsep kekuasaan pada saat itu.
Menurut saya, pendekatan yang dilakukan oleh Peter Carey tepat karena dengan meneliti secara antropologis atau mensasarkan pada konsep kebudayaan masyarakat, babad ini dapat memberikan suatu pengetahuan dan pemahaman mengenai konsep budaya (dalam hal ini tingkah laku) masyarakat Jawa pada ketiga babad. Seperti konsep wayang yang dipercaya masyarakat sebagai salah satu pedoman hidup, mencerminkan tingkah laku masyarakat Jawa sendiri. Nilai spiritual masyarakat Jawa yang tergambar dengan jelas pada babad ini (percaya wangsit, wahyu dan mimpi serta tapa) merupakan cermin tindakan dan panduan masyarakat Jawa. Lain halnya jika pendekatan yang dilakukan melalui pendekatan sejarah misalnya. Pendekatan sejarah tidak terlalu cocok pada babad tersebut karena cerita babad tersebut tidak murni sejarah, meklainkan telah di modifikasi dengan intepretasi dan imajinasi penulis/penyalin sendiri, sehingga untuk mencapai adanya kebenaran pada sejarah yang ditampilkan tidak terlalu tepat.

Selasa, 02 November 2010

Kitab Sutasoma

Sutasoma merupakan salah satu kakawin Jawa kuno yang dikarang oleh mpu Tantular, seorang pujangga yang hidup pada jaman Raja Agung Hayam Wuruk dari Majapahit (1350-1389 AD).  Sutasoma berisi bentrokan antara agama Hindu dan Budha serta mengenalkan  pada kita semboyan Bhineka Tunggal Ika yang dikemudian hari menjadi semboyan negara kita

Ringkasan Cerita Sutasoma
            Pada masa pemerintahan Prabu Mahaketu, raja Hastina keturunan bangsa kuru, terjadi kekacauan yang ditimbulkan oleh para raksasa yang merampok dusun dan pertapaan.  Dengan berbekal ramalan dari seorang brahmin, prabu Mahaketu bersemadi di hadapan arca Jina.  Sesuai ramalan yang mengatakan bahwa putra sang prabu lah yang akan menghentikan kekacauan, maka lahirlah seorang bayi laki-laki yang merupakan titisan dari sang Budha bernama, Sutasoma.
            Beberapa tahun kemudian, Sutasoma beranjak dewasa, sang prabu berniat untuk segera menikahkannya dengan seorang putri.  Di luar dugaan Sutasoma menolak menikah apalagi dinobatkan sebagai raja.  Malam harinya, Sutasoma melarikan diri dari istana, saat itu secara ajaib seluruh gerbang terbuka dengan sendirinya.
            Di dalam perjalanannya, Sutasoma sampai ke sebuah candi di dalam hutan.  Dia berhenti dan bersemadi.  Kemudian Sutasoma meneruskan perjalanan ke gunung Himalaya (Semeru, pada Kalangwan) diantar oleh beberapa pendeta.  Sutasoma akhirnya tiba di sebuah pertapaan dan bertemu Ki Kesawa, dengan didampingi Ki Kesawa dia melanjutkan perjalanan dan bertemu dengan pertapa Budha bernama Sumitra.  Sumitra merupakan paman ibu Sutasoma.  Dari Sumitra, Sutasoma mengetahui siapa raksasa yang sering mengganggu dan memakan manusia.  Raksasa itu bernama Purusada, dia memiliki luka di kakinya yang tak kunjung sembuh.  Para pendeta meminta Sutasoma untuk membantu memenuhi takdirnya menjadi raja dan menghabisisi Purusada, tetapi Sutasoma menolak dengan halus dan memilih melanjutkan perjalanan.
            Pada perjalanan selanjutnya Sutasoma bertemu raksasa berkepala gajah (Gajamukha) dan seekor naga, dengan kesaktiannya kedua raksasa itu dapat dikalahkannya.  Ketika sampai di suatu tebing, Sutasoma bertemu seekor harimau betina yang hendak memakan anaknya sendiri.  Sutasoma mencegah harimau itu dan mengatakan bahwa hal itu tidak pantas dilakukan, Sutasoma kemudian menawarkan dirinya menjadi penggati anak harimau.  Harimau itu kemudian menyerang dan mencabik-cabik tubuh Sutasoma, kemudian meminum darahnya.  Namun setelah mayat Sutasoma tergeletak di tanah, harimau itu merasa menyesal dan berniat bunuh diri..  datanglah Batara Indra menghidupkan Sutasoma kembali.  Setelah kejadian itu, Sutasoma kembali bertapa, kali ini dia bertapa di sebuah gua di puncak gunung.
            Para dewa mencoba keteguhan hati Sutasoma, dengan mengirimkan beberapa dewi untuk menggodanya, namun Sutasoma tidah goyah, ketika Indra mencoba menggodanya Sutasoma berubah menjadi Budha Wairocana.  Setelah menyadari bahwa dirinya telah menjadi budha tertinggi, maka Sutasoma berniat kembali ke Hastina.  Di tengah perjalanan, Sutasoma bertemu dengan prabu Dasabahu yang tengah terlibat perkelahian dengan pengikut Purusada.  Ternyata Dasabahu masih saudara sepupu Sutasoma, dengan gembira dia mengajak Sutasoma ke negrinya dan menikahkan Sutasoma dengan adik perempuannya, Candrawati.  Setelah perhelatan selesai Sutasoma meneruskan perjalanan kembali ke Hastina dan dinobatkan menjadi raja, bergelar prabu Sutasoma.
            Di lain tempat, Purusada yang baru saja sembuh dari lukanya, tengah berusaha memenuhi kaulnya terhadap dewa Kala yaitu membunuh 100 raja.  Setelah menangkap korban ke sembilan puluh sembilan, dia mengarahkan sasaran ke kerajaan Singhala.  Raja Jayawikrama dari keraaan Singhala tidak menyerah dan melakukan perlawanan yang mengakibatkan kematian dirinya.  Setelah kematian prabu Jayawikrama, Purusada mengalihkan perhatian pada raja Widharba.  Dengan menyamar sebagai seorang pengemis yang meminta-minta, Purusada berhasil menangkap raja Widarbha.
            Purusada memerintahkan tentaranya untuk menyerang kerajaan Hastina.  Pada peperangan itu prabu Dasabahu, akhirnya tewas di tangan Purusada yang dirasuki oleh Siwa.  Mendengar kabar kematian Dasabahu, Sutasoma membawa keretanya diiringi oleh Sucitra dan para rohaniawan.  Siwa yang tengah mengamuk menjelma sebagai api Kala dan berusaha menghancurkan seisi dunia.  Para dewa mencoba membujuk dan menasehati Siwa untuk melepaskan niatnya menghancurkan dunia, karena meski dilakukan pun Sutasoma tidak akan terluka, karena Sutasoma merupakan reinkarnasi dari Budha.  Pada hakekatnya Budha dan Siwa adalah tunggal, Indra meminta Sutasoma untuk merubah dirinya.  Dalam posisi bodhyagri, Sutasoma mengeluarkan senjata yang menenangkan hati Siwa, sehingga Siwa keluar dari tubuh Purusada.
            Purusada berusaha memanggil Siwa kembali tetapi sia-sia.  Sutasoma bersedia mengorbankan dirinya, asalkan Purusada membebaskan seluruh raja yang masih ditawan olehnya.  Batara Kala merasa senang dan mengubah dirinya menjadi naga dan mulai menelan Sutasoma, akan tetapi perlahan dia merasa tidak tega dan mengeluarkan Sutasoma kembali.  Purusada juga merasakan hal yang sama, akhirnya bersama Sutasoma, Kala dan Purusada yang telah bertobat, melakukan kehidupan sebagai seorang Bhiksu.  Purusada akhirnya menetap di gunung Mandara bersama pengikutnya untuk melakukan tapa. 

Pengarang, waktu penulisan, dan Hal yang Terkait dengan Sutasoma
            Sutasoma, seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya, lahir dari tangan seorang pujangga bernama mpu Tantular.  Selain Sutasoma, mpu Tantular juga menghasilkan karya lain yaitu Arjunawijaya, suatu kakawin yang bercerita mengenai asal mula lahirnya prabu Dasamukha yang kemudian dikenal sebagai Raghawa (Rahwana), raja Ayodhya pada kakawin Ramayana, dan kemenangan Arjuna Sasarabahu, raja Mahispati atas Dasamukha.   Kedua syair ini digubah pada masa raja Rajasanagara atau Hayam Wuruk memerintah Majapahit.  Hal ini diketahui dari penyebutan nama raja, pada bagian akhir Sutasoma yaitu bagian penyair memuji raja karena menyebabkan semua penjahat melarikan diri.  Dalam prolog Arjunawijaya, raja yang sama disebutkan sebagai raja Jawa (sang Yawendra).  Dengan demikian, kedua kakawin tersebut berasal dari tahun sesudah 1365, ketika Negarakertagama diselesaikan, dan sebelum 1389, ketika sang raja mangkat.
            Pada bagian epilog, penyairnya yaitu mpu Tantular dalam Arjunawijaya mengarahkan suatu sindiran yang artinya berhubungan dengan kesukaran dan kritik yang dialami saat ia membuat puisi.  Kedua kakawin dibuat oleh satu orang yang sama, dapat diketahui dari persamaan kosa kata dan gayanya, sedangkan perbedaannya terdapat pada susunan dan penjabaran alur.  Sifat kakawin Arjunawijaya yang lebih sederhana dari Sutasoma, membuktikan bahwa kakawin Arjunawijaya lebih dahulu dibuat.  Latar belakang keagamaan terdapat kemiripan, tetapi ada juga perbedaan.  Kemiripannya antara lain:
  • Sama-sama berbentuk kakawin;
  • Menyinggung masalah Budha dan Hindu (Siwa);
  • Berlatar belakang kerajaan dan pertapaan;
  • Ada tokoh raja, raksasa dan dewa;
  • Ada penitisan yaitu Budha ke Sutasoma; Siwa ke Purusada; Rama ke Arjuna Sasrabahu;
  • Cerita berasal dari epos Mahabharata;
  • Akhir cerita nyaris sama yaitu terjadi pengampunan oleh tokoh utama terhadap tokoh antagonis, Sutasoma mengampuni Purusada dan Arjuna mengampuni Dasamukha.
            Dalam sastra kakawin yang berasal dari jaman Kediri, pengaruh Budhisme hampir tidak ada, baik dalam pemilihan tema, cara pembahasan, manggala maupun deskripsinya.  Dalam Arjunawijaya, Budha disebutkan pada bagian perjalanan Arjuna Sasrabahu beserta permaisurinya, dimana mereka menjumpai candi Budha.  Sedangkan pada Sutasoma, jelas sekali terlihat yaitu penyebutan Sutasoma sebagai titsan Budha. 
            Cerita Sutasoma terdapat dalam kitab Ramayana dan Mahabharata, serta beberapa kepustakaan Budha (Poerbatjaraka, 1957:45).  Cerita itu juga terdapat dalam berbagai jataka seperti dalam sastra Budhis, baik yang ditulis dalam bahasa Sansekerta ataupun bahasa Pali.  Terdapat beberapa versi mengenai Sutasoma, pada kebanyakana versi dari jataka, intinya adalah (1) Pangeran Sutasoma bertemu Brahmana yang menceritakan secara singkat dan padat syair dari kitab suci; (2) Dia dibawa lari oleh si pemakan manusia, yang telah bersumpah untuk mengorbankan beberapa pangeran; (3) Dia akan dibebaskan dengan syarat membawa brahmana sebagai pengganti; (4)Dia kembali ke pemakan manusia; (5) Perubahan (bertobatnya) pemakan manusia dan kebebasan para pangeran yang sebelumnya ditangkap.  Pada versi yang dikarang mpu Tantular, pada dasarnya berbeda secara mendasar.  Perbedaan yang paling menonjol adalah (1) Budha turun ke bumi dan menitis pada Sutasoma, serupa dengan Rudra (bentuk lain Siwa)yang telah menguasai Purusada (pemakan manusia; nama Kalmasapada tidak berlaku).  Ajaran Budha dan Siwa menjadi unsur dasar dalam teks; (2) Karakter seorang brahmana yang datang dan bercerita lewat syair yang singkat dan padat tidak ada, oleh karena itu Sutasoma ditangkap oleh pemakan manusia tidak bebas bersyarat melainkan kewajibannya pada sang brhmana; (3) Ketika plot demikian berganti menjadi bentuk yang baru, sejauh pengetahuan kita subjek masalah untuk kavya lengkap didalamnya (Ensink, 1967:10&11).   
            Sutasoma dapat dikatakan sebagai kakawin yang menggabungkan unsur Budha dan Hindu menjadi satu (kemanunggalan) serupa dengan situasi dan kondisi saat itu, yaitu agama pada masa kerajaan Majapahit (Budhisme Mahayana dan Siwaisme).  Ada kemungkinan Raja Sutasoma merupakan raja Kertanegara yang beragama Budha Tantra, raja ini dinobatkan sebagai Jina (Dhyani Budha) hal ini disebutkan dalam Negarakertagama (Siwabudhaloka).  Kemanunggalan antara agama Hindu dan Budha dapat dilihat dari inti cerita kisah ini, yaitu Sutasoma (mewakili ajaran Budha) berseteru dengan raksasa Purusada (mewakili Siwa (Hindu)), Purusada sebagai penganut Siwaisme tidak menyukai Sutasoma yang merupakan titisan Budha, pada akhirnya Purusada (siwa) ‘ditundukkan’ oleh kewelas asihan Sutasoma (Budha) Siwa merupakan Budha dan begitupun sebaliknya mereka adalah satu dan sama.  Menurut saya pribadi, cerita ini dimaksudkan untuk menyatukan penganut Budha dan Hindu (Siwaisme) pada masa kerajaan Majapahit, supaya tetap bersatu tanpa ada perselisihan karena kedua ajaran itu pada intinya bermuara pada satu tujuan yang sama yaitu mencapai kemanunggalan (menjadi Budha atau Siwa).  Sampai saat ini kakawin Sutasoma sangat digemari di pulau Bali, atau sekurang-kurangnya dalam kalangan tertentu yang menempatkannya di atas kakawin lain.  Bahkan di suatu forum diskusi, Sutasoma masih menjadi topik yang menarik untuk dibahas, terutama oleh penganut Budha.  Nama mpu Tantular saat ini lebih dikenal sebagai nama museum di Surabaya.

sumber:

Ensink, J
1967                              On The Old-Javanese Cantakaparwa And Its Tale of Sutasoma; S. Gravennage, Martinus Nijhoff.
Poerbatjaraka R.M.Ng, dan Hadidjaja, Tardjan
1957                              Kepustakaan Djawa; Djakarta, Djambatan.
Zoetmulder, P.J.
1983                              Kalangwan:Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang; Jakarta, Djambatan.