Jumat, 07 Desember 2012

TANTRI KAMANDAKA Tantri Kamandaka merupakan salah satu naskah Jawa berbentuk prosa yang menggunakan bahasa Jawa Tengahan. Naskah ini merupakan satu dari sekian banyak naskah berbahasa Jawa tengahan seperti Tantu Pagelaran dan Sri Tanjung. Sesuai bahasanya, Tantri Kamandaka ditulis pada masa Jawa Pertengahan yaitu masa peralihan antara Jawa Kuno dengan Jawa Baru. Isi cerita Tantri Kamandaka sarat dengan ajaran moral yang baik untuk anak-anak, adapun ringkasan ceritanya akan dijelaskan di bawah ini. Ringkasan Cerita Tantri Kamandaka Pada jaman dahulu di negri Jambudipa, ada seorang raja bernama Maharaja Eswaryapala. Sang raja memerintahkan patihnya yaitu, Nitibadeswarya untuk menyediakan seorang gadis untuk diperistri setiap hari, berarti setiap malam selalu diadakan pernikahan. Hal itu berlangsung terus hingga akhirnya tinggal putri sang patih yang tersisa. Dewi Tantri, putri sang patih bersedia dipersembahkan sebagai istri sang raja. Dewi Tantri juga berjanji pada ayahnya akan mengubah perilaku sang raja. Pada malam pernikahannya, Tantri memohon izin pada sang raja untuk bercerita supaya tidak mengantuk, sang raja setuju. Setelah cerita selesai, sang raja yang tertarik dengan cerita Tantri, meminta Tantri melanjutkan cerita itu besok, begitulah, setiap malam Tantri bercerita dan ceritanya selalu berlanjut, hingga akhirnya sang raja sadar akan nilai yang diajarkan pada cerita tersebut. Sejak itu sang raja berjanji tidak akan menikah lagi, dia mengangkat Tantri sebagai permaisurinya. Cerita Tantri dimulai pada cerita brahmana miskin bernama Darmaswani, sang brahmana yang memohon pada Siwa untuk diberikan berkah, mendapatkan seekor kerbau jantan bernama Nandaka. Berkat Nandaka kehidupan sang brahmana menjadi semakin makmur dan kaya. Suatu hari Nandaka yang sakit ditinggalkan di tengah hutan oleh 2 pelayan Darmaswani, maka dimulailah cerita mengenai para binatang di hutan. Seekor Singa penguasa hutan mengikat persahabatan dengan Nandaka, demi persahabatan sang singa bahkan rela tidak memakan daging dan mulai makan tumbuh-tumbuhan. Patih raja bernama Sambada, seekor serigala, merasa posisinya terancam dengan persahabatan majikannya dengan seekor kerbau. Dengan liciknya dia mengadu domba Nandaka dengan Singa hingga mereka saling membunuh, Sambada pun tewas karena kerakusannya sendiri. Cara Sambada mengadu domba antara Singa dengan Nandaka adalah lewat cerita yang masing-masing dipaparkan secara terpisah, salah satu cerita yang hingga saat ini masih dikenal adalah cerita prabu Aridarma. Alkisah prabu Aridarma sedang berburu di hutan, saat itu dia melihat putri naga dan seekor ular kebanyakan sedang saling melilit. Sang prabu menegur kedua ular dan mengatakan bahwa perbuatan mereka sangatlah tidak pantas, maka dibunuhnya ular kebanyakan dan dipukulnya putri naga, Nagini. Setibanya di rumah, Nagini mengadu pada ayahnya, Naga raja. Nagini mengatakan bahwa prabu Aridarma hendak berbuat tidak senonoh padanya, dan karena dia menolak prabu Aridarma memukulnya. Naga raja yang tidak terima putrinya diperlakukan demikian, segera pergi ke istana prabu Aridarma. Dengan berwujud seekor ular, Naga raja menyelinap ke bawah tempat tidur sang prabu. Saat itu prabu Aridarma tengah berbincang dengan istrinya dewi Mayawati, diceritakanlah kejadian yang dialaminya saat di hutan. Naga raja yang mendengar kelakuan putrinya merasa malu, kemudian berganti rupa menjadi brahmana menemui prabu Aridarma. Naga raja berterima kasih pada prabu Aridarma, kemudian mengabulkan keinginan sang prabu yang ingin dapat memahami bahasa binatang, dengan syarat sang prabu tidak boleh memberitahukan pada siapapun mengenai kemampuannya memahami bahasa binatang, jika tidak sang prabu akan mati. Suatu hari saat sedang bersama istrinya, prabu Aridarma mendengar seekor cecak betina memuji dirinya, sehingga dia tertawa, istrinya merasa heran dan ingin tahu mengenai apa yang ditertawakan oleh sang prabu. Sesuai janjinya sang prabu menolak, tetapi istrinya bersikeras dan mengancam akan bunuh diri. Esoknya sang prabu menyiapkan sedekah dan api pembakaran, karena ingin memberitahukan pada istrnya kenapa dia tertawa. Saat berdiri diatas panggung, dia mendengar perbincangan seekor kambing jantan dan betina bernama Banggali dan Wiwita. Kambing betina, Wiwita menginginkan suaminya, Banggali untuk mengambil janur kuning yang tergantung diatas api karena sedang mengidam, tetapi ditolak oleh Banggali karena banyak penjaga yang membawa tombak. Wiwita tetap bersikeras dan mengancam akan bunuh diri, tetapi Banggali tetap pada pendiriannya dan menyindir prabu Aridarma yang hendak mati hanya karena ingin memenuhi permintaan istrinya yang tidak mungkin dilakukan. Prabu Aridarma yang mendengar ucapan Banggali berpikir kalau apa yang dikatakan oleh Banggali benar, sebagai seorang raja dia tidak boleh kalah oleh istrinya karena dengan begitu tidak ada yang mau menghormatinya maka, sang prabu memutuskan untuk mengurungkan niatnya untuk mati tunu dan turun dari panggung. Sang dewi Mayawati (istri prabu Aridarma) menerjunkan dirinya ke dalam api, begitu pula Wiwita. Keterangan Mengenai Tantri Kamndaka Pada dasarnya Tantri Kamandaka berarti Kamandakisi cerita binatang. Cerita yang ditampilkan cukup ringan dan mudah dimengerti serta sarat akan ajaran moral. Bahasa yang digunakan pada Tantri Kamandaka adalah bahasa Jawa Kuno dengan sedikit peralihan ke bahasa Jawa Baru. Menurut Dr.C. Hooykaas dalam Bibliotheca Javanica 2, 1931, di Indonesia terdapat 12 macam naskah Tantri yaitu, 3 dalam bahasa Jawa Kuno 2 dalam bahasa Jawa Baru 2 dalam bahasa Madura 5 dalam bahasa Bali sembilan naskah terakhir termasuk naskah muda dan dalam keadan yang sangat buruk. Yang tiga termasuk berbahasa Jawa Kuno yaitu, Tantri Kamandaka yaitu berbentuk prosa Tantri b Kadiri yaitu berbentuk kidung Kadiri Tantri a Demung yaitu bentuk puisi Jawa Tengahan Menurut Poerbatjaraka, Kitab Tantri mengisahkan dongeng hewan seperti cerita Kancil. Adapun induk dari kitab itu adalah kitab Pancatantra berbahasa Sansekerta asal dari tanah Indu. Kitab Tantri berbeda dengan Pancatantra pada bagian awalnya saja. Kitab Pancatantra dimulai dengan cerita mengenai seseorang yang mempunyai beberapa putra yang bodoh-bodoh. Seorang pendeta didatangkan untuk mengajar mereka dengan jalan menceritakan dongeng-dongeng hewan. Sedangkan Tantri sesuai ringkasan cerita mengenai seorang raja yang gemar menikah setiap hari dan akhirnya disadarkan dengan dongeng yang diceritakan istrinya, Tantri. Persamaannya terdapat pada sebagian besar cerita binatang yang merupakan versi Pancatantra, India. Pada kitab Tantri terselip perkatan-perkataan Sansekerta. Beberapa diantaranya masih dapat dibetulkan, tetapi beberapa buah yang lain tidak lagi. Karena itu, maka kitab itu dapat dianggap kitab Jawa Kuno berbentuk prosa. Tetapi menurut bentuknya dapat dimasukkan sebagai kitab bahasa Jawa Tengahan. Kitab Tantri Kamandaka telah diterbitkan menjadi buku Bibliotheca Javanica jilid II, dengan terjemahan dalam bahasa Belanda oleh Dr. C Hooykaas. Pada katalog naskah FSUI naskah Tantri Kamandaka dengan judul Kidung Tantri ditulis diatas lontar dengan aksara Bali berbahasa Jawa kuno berbentuk Kidung. Naskah tersebut isi ceritanya serupa dengan naskah Tantri Kamandaka bentuk prosa yang telah diceritakan diatas, perbedaannya hanya pada bentuk sastra dan nama tokoh. Menurut keterangan, naskah ini selesai disalin pada hari rabu kliwon dungulan bulan Kasa (pertama) dan merupakan milik I Gusti Putu Jlantik sebagai bupati Singaraja, diperoleh di Puri Singaraja pada hari Kamis Pon Kurantil tahun 1828 Saka oleh Anak Agung Ngurah (tabanan). Tidak jelas siapa penyalinnya, namun tampaknya oleh I Gusti Putu Jlantik atau Anak Agung Ngurah (tabanan) pada tahun 1828 Saka (1906) di Singaraja, Bali, ditunjang dengan catatan tambahan dengan tulisan Bali dan Latin yaitu Kidung Tantri 1-90, I.G. Jlantik (t.t) punggawa Kulini, 1906. (h.1a). Sedangkan pada Literature of Java, puisi Tantri dibuat pada periode Jawa-Bali pada masa raja Gelgel dan Klungkung. Menurut buku itu pula, buku Tantri berdasarkan kitab Pancatantra India, pada masa pra Islam pada sejarah budaya Jawa beberapa fabel terdapat dalam naskah pada relif batu yang tergambar di tembok kuil Jawa Timur. Cerita Tantri Kamandaka disadur menjadi salah satu cerita dari sekian banyak cerita pada buku yang berjudul Percikan Kebijakan yang ditulis oleh A Sandiwanbrata P.R, tahun 1987 diterbitkan oleh Kanisius. Selain itu ada buku berjudul Tantri Kamandaka: Een Ooudjavaansche Pancatantra, Disertai Teks dan Terjemahannya, yang berisi teks dan terjemahan naskah Tantri Kamandaka. Menurut saya cerita Tantri Kamandaka ini cocok untuk diceritakan pada anak-anak, disertai penjelasan ajaran yang dapat dipetik dari cerita itu. Meski ada dugaan bahwa cerita ini merupakan saduran dari cerita 1001 malam, tetapi pada dasarnya cerita ini benar-benar berbeda, pada awal cerita memang sama yaitu raja yang gemar menikah setiap hari kemudian menikah dengan gadis yang pintar mendongeng dan pada akhirnya sifat buruk raja seiring berakhirnya cerita dan sang raja pun meninggalkan sifat buruknya dan menjadikan sang gadis permaisuri, pada cerita 1001 malam, sang raja memang gemar menikah tetapi pada pagi harinya istri barunya akan dibunuh, berbeda dengan versi Jawa dimana tidak ada cerita mengenai pembunuhan para gadis. Pada cerita 1001 malam putri yang dinikahi raja meminta izin pada sang raja untuk mendongengkan adiknya untuk terakhir kalinya, sang raja yang menunggui mereka menjadi tertarik dan ikut mendengarkan cerita yang bersambung terus menerus setiap malam hingga sang raja lupa pada hukuman yang ia tetapkan. Sedangkan pada cerita Tantri Kamandaka, Tantri bercerita untuk sang raja dan Tantri tidak memiliki adik. Cerita yang diceritakan pun berbeda, pada kisah 1001 malam cerita bernuansa padang pasir dengan tokoh manusia, sedangkan pada cerita Tantri kisah yang diceritakan merupakan cerita dengan tokoh binatang dan adakalanya manusia seperti cerita Brahmana dan Pembuat emas dengan kisah Prabu Aridarma. Susunan cerita pada Tantri Kamandaka cukup teratur meski saling tumpang tindih, artinya didalam cerita yang sedang diceritakan ada cerita lain misalnya pada saat Sambada bercerita pada Nandaka, Nandaka membalas dengan cerita mengenai binatang lain seperti Ketam, kemudian di dalam cerita Nandaka, Si Ketam diceritakan juga bercerita pada tokoh lain. Salah satu cerita Tantri, yaitu kisah Prabu Aridarma telah diadaptasi menjadi awal dari cerita karangan yaitu kidung Angling Dharma yang sampai saat ini masih dikenal secara luas. Meski sedikit rumit, akan tetapi cerita Tantri Kamandaka memang sarat akan nilai moral yang patut direnungkan dan menjadi contoh dalam kehidupan sehari-hari, sayangnya cerita ini tidak begitu populer pada masa sekarang, mungkin karena bentuk sastranya berupa prosa sehingga tidak banyak yang tertarik untuk menggali cerita ini lebih dalam. Daftar Pustaka Behrend, TE 1998 Katalog Naskah Nusantara Jilid 3 A-B: Perpustakaan Fakultas Satra Universitas Indonesia; Jakarta, Yayasan Obor L Mardiwarsito 1983 Tantri Kamandaka: Naskah dan Terjemahan dengan Glosarium, Nusa Indah; Flores Poerbatjaraka, Prof. Dr. R.M dan Hadidjaja, Tardjan 1957 Kepustakaan Djawa, Jakarta; Djambatan Pigeaud, TH 1967 Literature of Java, Catalogue Raisonne of Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and Other Public Collections in the Netherland, Vol 1, The Hague: Martinus Nyhoff.

4 komentar:

  1. manut Lontar Tantri Kamandaka,kepah dados kuda cerita tantri punika?
    a.2
    b.3
    c.4
    d.5

    BalasHapus
  2. manut Lontar Tantri Kamandaka,kepah dados kuda cerita tantri punika?
    a.2
    b.3
    c.4
    d.5

    BalasHapus
  3. gimana sdh ada jawabannya klo sdh ada balas dengan baik y ☝☝☝
    terimakasih 🙏

    BalasHapus